Beranda | Artikel
Faedah Sirah Nabi: Istri Nabi, Ummu Habibah
Jumat, 12 Januari 2018

 

Ummu Habibah adalah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya setelah sebelumnya kita mengenal Khadijah binti Khuwailid, ‘Aisyah binti Abu Bakr, Saudah binti Zam’ah, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah, Hafshah binti ‘Umar, Zainab binti Jahsy dan Juwairiyah binti Al-Harits. Berarti dengan pembahasan Ummu Habibah kali ini sudah sembilan istri yang kita pelajari.

 

Siapa Ummu Habibah?

Ummu Habibah adalah di antara istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup ketika beliau meninggal dunia.

Nama lengkap beliau adalah Ummu Habibah binti Abi Sufyan Shakr bin Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik Al-Qurasyiyah Al-Umawiyah. Ibunya adalah Shafiyah binti Abul’Ash bin Umayyah bin ‘Abdu Syams, merupakan bibi dari ‘Utsman bin ‘Affan.

Adapun nama aslinya, ada beda pendapat di kalangan para ulama, ada yang menyatakan Hindun dan ada yang menyatakan Ramlah. Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan bahwa yang masyhur, nama asli Ummu Habibah adalah Ramlah. Inilah yang menjadi pendapat yang dianggap shahih oleh jumhur ulama berdasarkan penelitian nasab, sejarah, dan hadits. Sebagaimana Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa nama asli Ummu Habibah yang lebih shahih adalah Ramlah. Namun Ummu Habibah lebih masyhur dengan nama kunyah-nya dibanding dengan nama aslinya sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, 4:305.

Ummu Habibah dilahirkan 17 tahun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus. Ummu Habibah termasuk puteri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ada istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang punya kedekatan nasab dengan beliau seperti Zainab binti Jahsy dari jalur ibunya (ibu Zainab adalah bibi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur bapaknya).

Suami Ummu Habibah sebelum menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ‘Ubaidullah bin Jahsy bin Riab bin Ya’mar bin Shabirah bin Murrah bin Katsir bin Ghanm bin Dawdan bin Asad bin Khuzaimah.

Ummu Habibah adalah di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam, ia beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenarkan ajaran beliau.

Ia dan suaminya pernah berhijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dari kejahatan kaum musyrikin di Makkah yang dipimpin oleh bapaknya sendiri, Abu Sufyan bin Harb. Bapaknya Abu Sufyan sangat marah sekali ketika mengetahui puterinya masuk Islam dan meninggalkan ajaran nenek moyang mereka. Ketika berhijrah ke Habasyah, Ummu Habibah ditakdirkan hamil dan melahirkan anaknya saat perjalanan di jalan Allah. Ia dikaruniakan rezeki dengan lahirnya anaknya bernama Habibah (akhirnya ia berkunyah dengan nama anak ini), yang merupakan anak yang pertama ketika berada di Habasyah. Ada juga cerita yang menyebutkan bahwa anak itu dilahirkan di Makkah.

Ketika di Habasyah suaminya ‘Ubaidullah murtad, masuk Nashrani dan ingin mengajak istrinya pula untuk memeluk ajaran Nashrani. Namun ajakan itu tidak berhasil. Suaminya pun mati dalam keadaan Nashrani dalam keadaan sebelumnya mabuk karena minum khamar. Akhirnya, Ummu Habibah hidup seorang diri bersama puterinya (Habibah) sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamri kepada Raja Najasyi agar meminta kepada raja tersebut untuk menikahkan Ummu Habibah pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang menjadi wali nikahnya adalah putera dari pamannya yaitu Khalid bin Sa’id bin Al-‘Ash bin Umayyah, demikian pendapat yang terkuat. Sedangkan raja Najasyi mewakili Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun akad nikahnya, ada yang menyatakan berlangsung di Madinah setelah Ummu Habibah pulang dari Habasyah, ada pula yang menyatakan di Habasyah. Maharnya ketika itu adalah 400 dinar (kalau dirupiahkan saat ini sekitar 800 juta rupiah, pen.).

Dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang maharnya paling mahal adalah Ummu Habibah. Pernikahan beliau yang paling jauh tempatnya adalah dengan Ummu Habibah. Pernikahan tersebut berlangsung pada tahun enam Hijriyah. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaulinya baru pada tahun tujuh Hijriyah.

Ummu Habibah meninggal dunia di Madinah pada tahun 44 Hijriyah pada masa khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagaimana hal ini ditegaskan oleh kebanyakan ulama.

 

Keutamaan Ummu Habibah

1- Ummu Habibah sangat mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Buktinya adalah hadits berikut, di mana Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ انْكِحْ أُخْتِى بِنْتَ أَبِى سُفْيَانَ فَقَالَ « أَوَتُحِبِّينَ ذَلِكَ » . فَقُلْتُ نَعَمْ ، لَسْتُ لَكَ بِمُخْلِيَةٍ ، وَأَحَبُّ مَنْ شَارَكَنِى فِى خَيْرٍ أُخْتِى .فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ ذَلِكَ لاَ يَحِلُّ لِى » . قُلْتُ فَإِنَّا نُحَدَّثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِى سَلَمَةَ . قَالَ « بِنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ » . قُلْتُ نَعَمْ . فَقَالَ « لَوْ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِى فِى حَجْرِى مَا حَلَّتْ لِى إِنَّهَا لاَبْنَةُ أَخِى مِنَ الرَّضَاعَةِ ، أَرْضَعَتْنِى وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ فَلاَ تَعْرِضْنَ عَلَىَّ بَنَاتِكُنَّ وَلاَ أَخَوَاتِكُنَّ »

“Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, anak perempuan Abu Sufyan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah engkau senang akan hal itu?” Ummu Habibah menjawab, “Benar, aku tidak hanya ingin menjadi istrimu, dan aku ingin saudara perempuanku bergabung denganku dalam memperoleh kebaikan”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saudara perempuanmu itu tidak halal bagiku. Ummu Habibah berkata, “Kami mendengar berita bahwa engkau ingin menikahi anak perempuan Abu Salamah?” Beliau bersabda, “Anak perempuan Abu Salamah?” Ummu Habiibah menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Seandainya ia bukan anak tiriku yang ada dalam asuhanku, dia tetap tidak halal aku nikahi, karena ia adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dari hubungan persusuan, yaitu aku dan Abu Salamah sama-sama pernah disusui oleh Tsuwaibah (Mawla Abu Lahab, pen.). Oleh karena itu, janganlah engkau tawarkan anak perempuanmu atau saudara perempuanmu kepadaku.” )HR. Bukhari, no. 5101 dan Muslim, no. 1449)

 

2- Ummu Habibah sangat ittiba’ (mengikuti petunjuk) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Buktinya adalah tentang hadits shalat rawatib dalam sehari berikut ini. Dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah (rawatib) dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.”

Coba kita lihat, bagaimana keadaan para periwayat hadits ini ketika mendengar hadits tersebut. Di antara periwayat hadits di atas adalah An-Nu’man bin Salim, ‘Amr bin Aws, ‘Ambasah bin Abi Sufyan dan Ummu Habibah yang mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung.

Ummu Habibah mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

‘Ambasah mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah.”

‘Amr bin Aws mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Ambasah.”

An-Nu’man bin Salim mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Amr bin Aws.” (HR. Muslim, no. 728)

Bukti lainnya yang menunjukkan Ummu Habibah sangat ittiba’ adalah ketika menyikapi ayahnya yang meninggal dunia. Dari Ummu Habibah bintu Abi Sufyan, ketika datang berita kematian ayahnya, ia meminta wangi-wangian. (Setelah didatangkan), ia pun mengusapkannya pada kedua hastanya seraya berkata, “Sebenarnya aku tidak membutuhkan wangi-wangian ini seandainya aku tidak mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung pada seorang mayit lebih dari tiga hari, kecuali pada suaminya yaitu selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari, no. 5335 dan Muslim, no. 1491)

 

3- Ummu Habibah meminta maaf sebelum ia meninggal dunia

Dari ‘Auf bin Al-Harits, ia mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Ummu Habibah pernah memanggilku ketika ia akan meninggal dunia. Ia berkata, ‘Di antara kita pasti pernah ada masalah. Semoga Allah mengampuni aku dan engkau dari apa saja yang terjadi di antara kita.” Aisyah pun berkata, “Moga Allah memaafkanmu atas seluruh kesalahanmu dan menghalalkan itu semua.” Ummu Habibah lantas berkata, “Engkau telah membahagiakanku, moga Allah juga memberikan kebahagiaan untukmu.” Ummu Habibah juga menyatakan kepada Ummu Salamah seperti itu pula. Ia pun meninggal dunia pada tahun 44 Hijriyah pada masa Khalifah Mu’awiyah binti Abi Sufyan. (HR. Abu Sa’ad, 8:100 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasq, 69:152, Al-Hakim, 4:22. Walau sanad hadits ini dha’if sekali dari jalur Al-Waqidi dan Abu Sabrah, keduanya perawi yang matruk).

Semoga kisah Ummu Habibah menjadi pelajaran berharga.

 

Referensi:

Ummahat Al-Mukminin. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Dr. Muhammad bin Sulaiman. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Disusun di Perpus Rumaysho, 25Rabi’uts Tsani 1439 H, Jumat siang

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/17022-faedah-sirah-nabi-istri-nabi-ummu-habibah.html